IMPPOSIBLE
Asrita Cahya
Ramdani itulah namaku, yang sering dipanggil Rita oleh temanku. Aku berasal
dari keluarga yang sederhana dan sekolah di SMAN 2 SENGKANG. Sekarang aku sudah
kelas XII, itu berarti 3 bulan lagi UN akan dilaksanakan. Disana aku mempunyai
seorang sahabat yang bernama Reni Anggraeni, meskipun beda kelas tapi ketika
jam istirahat ku sempat waktuku untuk makan bersamanya.
***
Berjalan pulang
sekolah di bawah teriknya matahari membuat tenggorokanku kering, ditambah lagi
berat tas yang harus ku bawa, membuat keringat ku bercucuran. Untung saja kali
ini aku pulang tidak sendirian namun ada Reni yang menemaniku. Seperti biasanya
sesampai di rumah setelah makan siang ku isi waktuku dengan menonton berita di
TV untuk mendapatkan pengetahuan serta informasi yang lebih luas, namun kali
ini tak satupun berita yang menarik untuk dinonton, yang tayang hanya info yang
berulang dari kemarin. Karena tak ada lagi kegiatan yang bisa ku kerja di siang
ini karena juga tidak ada tugas, ku istirahatkan tubuh ku meskipun hal itu
sebenarnya tak aku sukai.
Keesokan
harinya, dijam istirahat aku dan Reni berbincang tentang jadi apa kami
nantinya. “Ren, lulus nanti kamu mau jadi apa?” Tanyaku. “hmm, kalau aku mah
mau jadi traveller seperti orang tuaku, soalnya bisa keliling dunia. Sekarang
aja mereka sedang menuju ke Surabaya, kapan aku seperti mereka. Kamu sendiri
mau jadi apa?” ujar Reni yang berbalik tanya kepadaku. “Orang tuamu saja bisa,
kenapa kamu tidak. Kalau pekerjaanku bahkan belum terbayang hingga saat ini,
yang pastinya pekerjaanku nantinya bermanfaat buat Negara dan rakyatnya”.
Jawabku. Tak terasa sepuluh menit berlalu, bel pertanda masuk berbunyi, kamipun
segera ke kelas masing-masing. Waktu terus berjalan hingga menunjukkan pukul
14.00, waktunya untuk pulang, kali ini aku pulang sendiri, soalnya Reni ada
kegiatan ekstra. Sesampai di rumah, ketika sedang menyantap makan siang,
tiba-tiba sebuah kalimat terdengar di kupingku “Jatuhnya Pesawat Airasia”, dan
kalimat itu berasal dari TV yang dinonton ibuku, dengan segera ku bawa piring
makanku ke depan TV. Baru saja kemarin nggak ada berita yang menarik, sekarang
berita yang ada malah lebih tragis. Melihat berita itu nafsu makan ku hilang,
perut yang tadinya lapar sekarang menjadi terisi karena berita itu.
3 hari berlalu,
dan bersamaan dengan itu Reni tak ada kabar, ku coba tanyakan ke temannya namun
tak ada yang mengetahui dia kemana. Akupun menuju ke rumah Reni, namun ketika
sampai, kudapati rumahnya tergembok, serasa tak ada orang di dalam. Akupun
bertanya ke tetangga Reni. “maaf bu, Reninya kemana ya?” tanyaku. “oh, begini dek, 3 hari yang
lalu dia mendapat berita dari Surabaya, katanya orang tua mereka ada di dalam
pesawat Airasia, mendengar kabar itu, iapun segera ke Surabaya untuk menjemput
jenazah orang tuanya.” Jawab bu Erna. Setelah mendapat berita itu aku langsung
pamit dan segera melihat berita itu, aku hanya bisa berharap semoga orang
tuanya dapat ditemukan, andai saja aku bisa menolongnya.
Keesokan harinya
aku beserta organisasi lainnya beredar di semua kelas untuk meminta sumbangan
yang akan diberikan ke Reni. Setelah terkumpul kami sisa menunngu jenazah orang
tuanya tiba di rumah Reni. Sepulang sekolah, dari kejauhan tampak seorang ibu
akan menyebrang entah untuk apa, namun hanya beberapa detik tiba-tiba sebuah
bus menabrak ibu itu, aku yang tadinya melihat dari kejauhan, kini ku berlari
menolong ibu itu, semua warga berkerumun untuk membawa ibu itu ke rumah sakit,
luka dikepalanya membuat darahnya keluar terlalu banyak hingga membuatnya harus
menjalani operasi, disaat itu juga aku ikut membawa ibu itu ke rumah sakit
ditemani dengan anaknya yang masih berusia 7 tahun tengah menangis di
sampingku. Ku coba menenangkan anak itu, namun ia terus memeluk ibunya. Seketika
itu sesuatu terpikir olehku, apa mungkin ini yang dirasakan Reni saat ini,
menangis dan terus menangis. Tak bisa kubayangkan sedih yang ia rasakan.
Sesampai dirumah
sakit ibu itu segera di operasi, dan operasinya berjalan dengan lancar, aku
bersyukur anak itu tak kehilangan ibu yang ia sayangi. Lain halnya dengan Reni,
orang tua yang selalu ia ceritakan kepadaku, yang ia banggakan kini
meninggalkannya seorang diri. Sampai saat ini belum ada kabar darinya.
***
1 minggu
berlalu, belum ada kabar dari Reni, kekhawatiranku sekamin menjadi. Handphone
yang ku genggam sedari tadi tak berdering. Sekalipun berdering palingan hanya
pesan yang tak penting. Namun tiba-tiba “ting..ting…ting” sebuah pesan masuk,
segera ku baca dan ternyata pesan itu adalah pesan yang dikirim oleh Reni, ia
berkata bahwa ia sudah tiba di rumahnya, dengan mengetahui hal itu sesegera
mungkin ku pasang jilbabku lalu menuju ke rumah Reni sambil membawa sumbangan
dari teman teman kami. Ketika tiba disana sudah banyak orang yang berkerumun.
Kulihat Reni dari jauh tengah menangis melihat jenazah orang tuanya. Akupun
segera menghampiri dan memeluknya dengan erat. Disaat itu pula kuserahkan
sumbangan itu ke Reni. Aku menenagkan hati reni agar ia berhenti menangis,
bukan maksud aku melarangnya menangisi orang tuanya, tapi aku tak sanggup
melihatnya menangis, matanya bahkan sudah menjadi sipit. Jam menunjukkan pukul
16.00 waktunya untuk pemakaman. Setelah itu Reni menceritakan hal yang terjadi
pada kedua orang tuanya. Sehabis membantunya membereskan rumah akupun pamit
untuk pulang. Sesampai di rumah aku tak bisa membayangkan hal yang dialami
Reni, namun mau apalagi nasi sudah jadi bubur.
***
1 bulan berlalu,
ketika aku dan Reni sedang jogging pagi, tiba-tiba saja kami terhenti di suatu
daerah, di sana kami melihat sekumpulan orang menggunakan pakaian orange
lengkap dengan peralatan, ku pikir mereka adalah Tim Sar yang akan mengevakuasi
warga yang terjebak dalam rumah saat banjir, dan kupikir jika kami ikut
menolong itu lebih bermanfaat dibandingkan hanya jogging tanpa berbuat
kebaikan. Detik itu juga kami ikut mengevakuasi warga yang terjebak. Aku, Reni
dan sebagian Tim Sar menuju ke utara, sebagian lagi kearah selatan. Senang rasanya
bisa menyelamatkan warga dari banjir. Sebuah pekerjaan terlintas di pikiranku,
aku ingin jadi salah satu anggota Tim Sar. Reni yang mendengar kalimatku itu
terkejut mendengarnya, ia bahkan menertawakanku karena aku seorang wanita.
Memang aneh kedengarannya namun aku merasa nyaman bila menolong seseorang.
Apalagi aku tak punya bakat istimewa. Waktu terus berputar, tak terasa
pengevakuasian selesai, kamipun pulang ke rumah masing masing.
2 bulan
kemudian. Ini adalah hari terakhir pelaksanaan UN. Dan ini saatnya kami
menuliskan cita-cita yang akan kami raih nantinya di sebuah kertas yang akan
diterbangkan ke udara. Dengan penuh percaya diri kutulis di kertas itu “TIM
SAR”, meskipun orang menertawaiku namun aku tetap terseyum. Setelah mengikatnya
dengan balon, saat itungan ketiga semua kertas dilepas bersamaan, aku hanya
bisa berharap cita-citaku dapat tercapai nantinya.
4 tahun
kemudian, lagi-lagi pesawat Airasia jatuh di selat malaka, kini aku menggunakan
seragam orange dan mulai mengevakuasi korban dari pesawat itu. Aku yang dulunya
duduk di depan TV melihat tim penyelamat mengevakuasi korban, kini aku menjadi
salah satu anggota mereka, bangga rasanya. Namun ketika sedang mengevakuasi,
aku menemukan satu korban dengan tubuh tak berdaya mengapung di atas air, kami
segera mengevakuasi wanita itu, setelah di identifikasi, betapa kagetnya ketika
aku mengetahui bahwa wanita itu adalah sahabatku dulu, dimana orang tuanya juga
meninggal karena hal yang sama, dia adalah Reni Anggraeni. Tangisanku tak dapat
lagi ku tahan. Takdir memang sudah ditentukan oleh yang maha kuasa. Tak
memandang usia, tak memandang status, dan tak memandang kondisi, semua sama.
Aku hanya bisa berdoa agar Reni diterima disisi tuhan.
“Cerita ini hanya fiktif belaka jika ada kasamaan tokoh,
waktu dan tempat itu bukan unsur kesengajaan”