Jumat, 22 Mei 2015

new CerPeN



10462354_1702851196607881_7509987954402581252_n.jpg
IMPPOSIBLE
Asrita Cahya Ramdani itulah namaku, yang sering dipanggil Rita oleh temanku. Aku berasal dari keluarga yang sederhana dan sekolah di SMAN 2 SENGKANG. Sekarang aku sudah kelas XII, itu berarti 3 bulan lagi UN akan dilaksanakan. Disana aku mempunyai seorang sahabat yang bernama Reni Anggraeni, meskipun beda kelas tapi ketika jam istirahat ku sempat waktuku untuk makan bersamanya.
***
Berjalan pulang sekolah di bawah teriknya matahari membuat tenggorokanku kering, ditambah lagi berat tas yang harus ku bawa, membuat keringat ku bercucuran. Untung saja kali ini aku pulang tidak sendirian namun ada Reni yang menemaniku. Seperti biasanya sesampai di rumah setelah makan siang ku isi waktuku dengan menonton berita di TV untuk mendapatkan pengetahuan serta informasi yang lebih luas, namun kali ini tak satupun berita yang menarik untuk dinonton, yang tayang hanya info yang berulang dari kemarin. Karena tak ada lagi kegiatan yang bisa ku kerja di siang ini karena juga tidak ada tugas, ku istirahatkan tubuh ku meskipun hal itu sebenarnya tak aku sukai.
Keesokan harinya, dijam istirahat aku dan Reni berbincang tentang jadi apa kami nantinya. “Ren, lulus nanti kamu mau jadi apa?” Tanyaku. “hmm, kalau aku mah mau jadi traveller seperti orang tuaku, soalnya bisa keliling dunia. Sekarang aja mereka sedang menuju ke Surabaya, kapan aku seperti mereka. Kamu sendiri mau jadi apa?” ujar Reni yang berbalik tanya kepadaku. “Orang tuamu saja bisa, kenapa kamu tidak. Kalau pekerjaanku bahkan belum terbayang hingga saat ini, yang pastinya pekerjaanku nantinya bermanfaat buat Negara dan rakyatnya”. Jawabku. Tak terasa sepuluh menit berlalu, bel pertanda masuk berbunyi, kamipun segera ke kelas masing-masing. Waktu terus berjalan hingga menunjukkan pukul 14.00, waktunya untuk pulang, kali ini aku pulang sendiri, soalnya Reni ada kegiatan ekstra. Sesampai di rumah, ketika sedang menyantap makan siang, tiba-tiba sebuah kalimat terdengar di kupingku “Jatuhnya Pesawat Airasia”, dan kalimat itu berasal dari TV yang dinonton ibuku, dengan segera ku bawa piring makanku ke depan TV. Baru saja kemarin nggak ada berita yang menarik, sekarang berita yang ada malah lebih tragis. Melihat berita itu nafsu makan ku hilang, perut yang tadinya lapar sekarang menjadi terisi karena berita itu.
3 hari berlalu, dan bersamaan dengan itu Reni tak ada kabar, ku coba tanyakan ke temannya namun tak ada yang mengetahui dia kemana. Akupun menuju ke rumah Reni, namun ketika sampai, kudapati rumahnya tergembok, serasa tak ada orang di dalam. Akupun bertanya ke tetangga Reni. “maaf bu, Reninya kemana  ya?” tanyaku. “oh, begini dek, 3 hari yang lalu dia mendapat berita dari Surabaya, katanya orang tua mereka ada di dalam pesawat Airasia, mendengar kabar itu, iapun segera ke Surabaya untuk menjemput jenazah orang tuanya.” Jawab bu Erna. Setelah mendapat berita itu aku langsung pamit dan segera melihat berita itu, aku hanya bisa berharap semoga orang tuanya dapat ditemukan, andai saja aku bisa menolongnya.
Keesokan harinya aku beserta organisasi lainnya beredar di semua kelas untuk meminta sumbangan yang akan diberikan ke Reni. Setelah terkumpul kami sisa menunngu jenazah orang tuanya tiba di rumah Reni. Sepulang sekolah, dari kejauhan tampak seorang ibu akan menyebrang entah untuk apa, namun hanya beberapa detik tiba-tiba sebuah bus menabrak ibu itu, aku yang tadinya melihat dari kejauhan, kini ku berlari menolong ibu itu, semua warga berkerumun untuk membawa ibu itu ke rumah sakit, luka dikepalanya membuat darahnya keluar terlalu banyak hingga membuatnya harus menjalani operasi, disaat itu juga aku ikut membawa ibu itu ke rumah sakit ditemani dengan anaknya yang masih berusia 7 tahun tengah menangis di sampingku. Ku coba menenangkan anak itu, namun ia terus memeluk ibunya. Seketika itu sesuatu terpikir olehku, apa mungkin ini yang dirasakan Reni saat ini, menangis dan terus menangis. Tak bisa kubayangkan sedih yang ia rasakan.
Sesampai dirumah sakit ibu itu segera di operasi, dan operasinya berjalan dengan lancar, aku bersyukur anak itu tak kehilangan ibu yang ia sayangi. Lain halnya dengan Reni, orang tua yang selalu ia ceritakan kepadaku, yang ia banggakan kini meninggalkannya seorang diri. Sampai saat ini belum ada kabar darinya.
***
1 minggu berlalu, belum ada kabar dari Reni, kekhawatiranku sekamin menjadi. Handphone yang ku genggam sedari tadi tak berdering. Sekalipun berdering palingan hanya pesan yang tak penting. Namun tiba-tiba “ting..ting…ting” sebuah pesan masuk, segera ku baca dan ternyata pesan itu adalah pesan yang dikirim oleh Reni, ia berkata bahwa ia sudah tiba di rumahnya, dengan mengetahui hal itu sesegera mungkin ku pasang jilbabku lalu menuju ke rumah Reni sambil membawa sumbangan dari teman teman kami. Ketika tiba disana sudah banyak orang yang berkerumun. Kulihat Reni dari jauh tengah menangis melihat jenazah orang tuanya. Akupun segera menghampiri dan memeluknya dengan erat. Disaat itu pula kuserahkan sumbangan itu ke Reni. Aku menenagkan hati reni agar ia berhenti menangis, bukan maksud aku melarangnya menangisi orang tuanya, tapi aku tak sanggup melihatnya menangis, matanya bahkan sudah menjadi sipit. Jam menunjukkan pukul 16.00 waktunya untuk pemakaman. Setelah itu Reni menceritakan hal yang terjadi pada kedua orang tuanya. Sehabis membantunya membereskan rumah akupun pamit untuk pulang. Sesampai di rumah aku tak bisa membayangkan hal yang dialami Reni, namun mau apalagi nasi sudah jadi bubur.
***
1 bulan berlalu, ketika aku dan Reni sedang jogging pagi, tiba-tiba saja kami terhenti di suatu daerah, di sana kami melihat sekumpulan orang menggunakan pakaian orange lengkap dengan peralatan, ku pikir mereka adalah Tim Sar yang akan mengevakuasi warga yang terjebak dalam rumah saat banjir, dan kupikir jika kami ikut menolong itu lebih bermanfaat dibandingkan hanya jogging tanpa berbuat kebaikan. Detik itu juga kami ikut mengevakuasi warga yang terjebak. Aku, Reni dan sebagian Tim Sar menuju ke utara, sebagian lagi kearah selatan. Senang rasanya bisa menyelamatkan warga dari banjir. Sebuah pekerjaan terlintas di pikiranku, aku ingin jadi salah satu anggota Tim Sar. Reni yang mendengar kalimatku itu terkejut mendengarnya, ia bahkan menertawakanku karena aku seorang wanita. Memang aneh kedengarannya namun aku merasa nyaman bila menolong seseorang. Apalagi aku tak punya bakat istimewa. Waktu terus berputar, tak terasa pengevakuasian selesai, kamipun pulang ke rumah masing masing.
2 bulan kemudian. Ini adalah hari terakhir pelaksanaan UN. Dan ini saatnya kami menuliskan cita-cita yang akan kami raih nantinya di sebuah kertas yang akan diterbangkan ke udara. Dengan penuh percaya diri kutulis di kertas itu “TIM SAR”, meskipun orang menertawaiku namun aku tetap terseyum. Setelah mengikatnya dengan balon, saat itungan ketiga semua kertas dilepas bersamaan, aku hanya bisa berharap cita-citaku dapat tercapai nantinya.
4 tahun kemudian, lagi-lagi pesawat Airasia jatuh di selat malaka, kini aku menggunakan seragam orange dan mulai mengevakuasi korban dari pesawat itu. Aku yang dulunya duduk di depan TV melihat tim penyelamat mengevakuasi korban, kini aku menjadi salah satu anggota mereka, bangga rasanya. Namun ketika sedang mengevakuasi, aku menemukan satu korban dengan tubuh tak berdaya mengapung di atas air, kami segera mengevakuasi wanita itu, setelah di identifikasi, betapa kagetnya ketika aku mengetahui bahwa wanita itu adalah sahabatku dulu, dimana orang tuanya juga meninggal karena hal yang sama, dia adalah Reni Anggraeni. Tangisanku tak dapat lagi ku tahan. Takdir memang sudah ditentukan oleh yang maha kuasa. Tak memandang usia, tak memandang status, dan tak memandang kondisi, semua sama. Aku hanya bisa berdoa agar Reni diterima disisi tuhan.

“Cerita ini hanya fiktif belaka jika ada kasamaan tokoh, waktu dan tempat itu bukan unsur kesengajaan”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar